Senin, 04 Mei 2009

Pemuda Tanggung (2)

Pemuda Tanggung (2)
Sewaktu aku hampir tertidur, selepas maqrib kudengar bunyi ketukan di pintu, lalu suara seorang laki-laki. “Mbak, Mbak Mae, udah tidur belom?” … “Mbak bukain pintunya dulu Mbak.” Karena ketukan pintunya begitu gencar akhirnya kubukakan pintu untuk Yanto. Ia segera masuk ke dalam rumah, sedangkan aku yang tadi tertidur dengan masih berbusana tadi siang. Kutanya kepadanya, … “Kenapa Nto, ada apa?” … “Yanto nggak bisa tidur Mbak, boleh nggak Yanto di sini? Nggak usah sampe pagi sih.” Dengan hati-hati kujawab, … “Boleh sih boleh, tapi apa kata mbok Sarinem nanti?” Yanto tersenyum lebar, … “Tadi saya udah bilang mau jalan-jalan sama teman-teman.” Rupanya biarpun polos jalan juga pikiran anak ini. Waktu Yanto mau naik ke atas sofa kucegah dia, … “Itu kan celana yang tadi siang dipakai, lepas dulu dong, kan kotor.” Tersenyum Yanto memandangku, … “O iya Mbak, lagi pula supaya nanti gampang ya kalo Mbak Mae mau, kalau begitu sekalian aja saya lepas bajunya ya Mbak.” Kurang asem si Yanto, berani betul dia membuat asumsi seperti itu. Sebelum kubalikkan tubuhku membelakanginya sempat kulihat tubuhnya yang telanjang kekar nekat naik ke atas sofa.
Beberapa saat berlalu tiba-tiba kurasa sentuhan tangan Yanto di bahuku. “Mbak jangan tidur dulu dong Mbak,” … pintanya memelas mesra. “Deketan dikit dong, biar nggak kedinginan,” … sambungnya lagi. Kuputuskan untuk beringsut sedikit ke arah tubuhnya. Aku masih diam saja, tapi kubiarkan Yanto merangkul dan mengecup bahuku. Setelah itu disusupkannya lengan kirinya ke bawah leherku, sehingga aku sekarang berbantalkan lengan yang kokoh itu. “Balik sini dong Mbak,” … pinta Yanto sekali lagi. Kuturuti permintaannya. Terasa bulu ketiaknya menusuk pipiku. Tercium juga bau keringatnya yang agak tajam menyengat.
Kurasa Yanto belum mandi, dan yang pasti tidak memakai ‘deodorant. Boro-boro mau beli perlengkapan semacam itu, untuk hidup sehari-hari sajapun mungkin pas-pasan. Tapi tidak kuucapkan komentar apapun, karena akupun tidak ingin untuk menyinggung perasaannya. “Mbak,” … kata Yanto memulai percakapan, … “tadi siang enak ya Mbak?” Kutanggapi ia malas-malasan, … “Iya, lumayan juga.” Dengan terbuka ia mengakui, … “Mbak, Inget yang tadi siang Yanto jadi ngaceng, eh maksudnya bangun lagi itunya Mbak.” Dengan maksud iseng kugoda Yanto, … “Maksud Yanto ITU-nya apa sih?” Dalam kepolosannya sulit ia untuk menjawab dengan tepat, … “Itu Mbak, burungnya … eh apa tuh namanya Mbak?” Aku jadi tertawa geli mendengar jawabannya itu. Yantopun tertawa bersamaku. “Pegangin dong Mbak, “… sekarang dia memintaku. Terus terang aku sendiri juga mulai terangsang. Kumasukkan tanganku ke dalam selimut, dan segera menuju ke arah selangkangannya.
Begitu terpegang ‘tonjolan keras’ di balik celana dalamnya segera tanganku mencari celah masuk. Seperti pengakuannya tadi ternyata kontol Yanto sudah menegang keras dan besar sekali. Terasa sekali hangat berdenyut dalam genggamanku. Agak lengket oleh keringat yang barangkali sudah mengendap. Terbawa oleh suasana mesra saat itu kucium dan emut puting dadanya. Yanto menggelinjang kegelian. Katanya meminta, … “Terus ke bawah Mbak.” Tapi tercium lagi olehku bau keringat Yanto. Karena tidak tahan kuusulkan padanya, … “Yanto, mandi aja dulu, nanti rasanya lebih segar deh.” Di luar dugaanku Yanto menanggapi dengan penuh percaya diri, … “Nggak usah deh Mbak, dingin sekali.” Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Kataku membujuknya, … “Lho kan ada air panasnya, sana deh … Apa harus saya yang mandiin?” Sambil berdiri Yanto berkata, … “Nggak usah ah kalo dimandiin, emangnya jenazah nggak bisa mandi sendiri.” Yanto melorot celana dalamnya, … “Tapi ininya dicium dulu dong.” Agak jengkel aku mendengar permintaannya.
Dari nadanya kesan yang kutangkap seakan-akan dia ingin menguji atau mempermainkan aku. Dengan maksud supaya dia cepat pergi ke kamar mandi, segera kukecup kepala dan batang kontolnya, masing-masing sekali. Tapi Yanto memintaku untuk mengulanginya sekali lagi, dan setelah itu sekali lagi. Akhirnya malah aku sendiri yang keenakan menciumi kontol Yanto. Karena sudah terangsang tanpa dimintanya kujilati juga batang kontol yang perkasa itu. Kesan lengket yang tadinya ada sekarang sudah hilang, tersapu oleh jilatan lidahku. Sementara aku sedang menikmati kontol Yanto kudengar dia bertanya, … “Mbak seneng ya sama kontolnya Yanto.” Kujawab singkat, … “Iya dong, seneng sekali.” Rasa penasaran rupanya mendorongnya bertanya lagi, … “Kalau sama yang dulu-dulu.” Pertanyaannya membuat gairahku semakin bergejolak. Tapi kucoba juga untuk menjawabnya, … “Senengan yang ini.” Merasa belum puas dikejarnya terus jawabanku, … “Kenapa?” Dengan nafas tersengal-sengal kujawab dia, … “Ini yang paling hebat, paling besar, paling kuat, … pokoknya … sssllrruuppp…..” Yanto tersenyum bangga. Lalu pelan-pelan didorongnya daguku hingga menjauh dari kontolnya “Iya deh, sekarang Yanto mau mandi dulu ya,” … katanya meminta diri. Sejenak aku merasa seperti ditinggal pergi dengan sengaja, bahkan ditolak, atau malah dipermainkan. Rasanya hatiku tidak rela melepas Yanto pergi, biarpun hanya untuk ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian terlihat Yanto keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Kuperhatikan setiap lekuk pada tubuh yang bagus dan tegap itu. Lalu kutersenyum padanya. “Kenapa Mbak?” … Tanya Yanto. “Ah nggak, seneng aja ngeliat lelaki keren,” … kataku merayu. Wajah Yanto terlihat senang. Kugamit lengannya agar ia lalu mendekat, setelah itu kutarik handuknya lepas. ‘Batang kontol’ Yanto terpampang di depanku, sudah tegang keras kembali. Lho, tanyaku heran, … “kok masih keras sih.” Tersenyum Yanto menjelaskan, … “Tadi sih udah nggak lagi, tapi begitu ngeliat Mbak Mae jadi bangun lagi.” Sekarang giliran dia yang membuat hatiku senang dengan kata-katanya. Segera kutarik tangannya, kuminta ia membaringkan tubuhnya di sofa. Kuciumi wajah pemuda yang telah memikat hatiku ini, sehingga sampai membuatku terlupa kalau dia masih anak bau kencur. Kugigiti dia dengan lembut bercambur gemas mulai dari leher, lalu bahu dan dadanya, dan setelah itu sepanjang pinggangnya.
Setelah itu kuteruskan ke arah bawah hingga ke sekitar selangkangannya. Tapi kali ini aku hanya menciumi batang kontol Yanto sekedarnya saja. Sempat kulirik Yanto menatapku dengan pandangan heran. Tapi kuteruskan saja menciumi paha dan betisnya hingga aku sampai di kakinya. Waktu jempol kakinya kuemut Yanto menjerit, … “Aduh Mbak jangan, kasihan Mbak Mae.” Setelah itu kecupan-kecupan bibirku bergerak menuju ke atas lagi, hingga aku berhenti di sekitar selangkangannya. Tubuh Yanto terlihat berkeringat. Rupanya apa yang baru kulakukan tadi telah memacu birahinya. “Enak nggak Yanto?” … tanyaku ingin memastikan. “Aduh Mbak, Yanto nggak pernah ngebayangin seperti ini rasanya.” Jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga.
Dengan penuh semangat aku mulai menjilati kepala dan batang kontolnya. Lidahku menyapu semua sudut kontol yang besar dan keras itu. Tidak lupa kujilati juga buah zakarnya, hingga Yanto menjerit keenakan. Apalagi waktu pantatnya kugigit-gigit lembut. Karena masih ingin merangsang Yanto lebih jauh lagi kudorong bagian bawah pahanya ke atas. Lalu kujilati sekitar duburnya. “Aaaahhhh…… aaddduh Mbak, aaa…duuuhhh, ampuuuun Mbak,” … Yanto mengerang keras sekali. Kemudian kontol Yanto aku kulum dalam dan setelah itu kuemut-emut dengan bernafsu. Beberapa saat kemudian Yanto menarik tanganku lembut, … “Sini Mbak! … Yanto belom pernah ngalamin yang seperti begini … Terima kasih ya Mbak!” Kemudian dimintanya aku berbaring menelentang.
Sebelum timbul pikiran macam-macam di benak pemuda cepat kutarik kontolnya ke mulutku dan kuemut-emut dengan penuh gairah. Setelah itu terjadilah sesuatu yang tidak kubayangkan akan sebelumnya. Ia menjatuh tubuhnya ke arah bawah, dalam posisi 69 berlawanan arah dengan tubuhku. Didekatkannya wajahnya itu ke arah selangkanganku. Dijilatinya seluruh bagian memekku. Dipeluk dan ditariknya pantatku, lalu dijilatinya duburku seperti tadi telah kulakukan padanya. Kalau tidak kugigit bibirku pastilah aku sudah menjerit-jerit kegelian. Sewaktu dia kembali menjilati kemaluanku hampir saja aku mencapai puncak orgasmeku. “Yaaanntooo…… sayang… aakkhhh…, udah aaahhhh saya nggak tahan,” … kataku memintanya berhenti.
Pemuda itu menatapku dengan pandangan bertanya. Terpaksa kujelaskan bahwa belum tentu aku setahan dia. Kalau nanti aku orgasme duluan bisa mengganggu pelayananku kepadanya. Setelah mau mengerti Yanto kembali ke posisi semula, yaitu mengangkangi tubuh bagian atasku. Kumulai lagi menjilati dan mengemut batang kontol Yanto yang keras itu. Sambil tentunya tanganku sendiri mengusap-usap memekku yang tadi sudah dirangsang Yanto. Lama-kelamaan mulai terasa cairan kental agak asin di mulutku. Kelihatannya Yanto sudah mendekati saat-saat puncaknya. Sayangnya tiba-tiba aku merasa agak mual. Terpaksa kuakali Yanto dengan meminta sesuatu yang berbeda dari tadi siang. ‘Yanto, nanti waktu keluar siramin ya ke atas tubuh mbak.’ Ia bertanya heran, … “Mau Mbak seperti begitu, ditumpahin pejuhnya saya?” Kuyakinkan Yanto, … “Mau dong kan enak … Oh iya nanti kalau kamu udah keluar punya saya kamu usapin ya, biar saya juga puas.” Setelah itu kembali kuemut-emut kontol Yanto, sambil kukocok-kocok keras. Tidak terlalu lama kemudian terdengar Yanto mengerang dan mengaduh. “ Aaaarrgggghhhh…… aaaakkkkhhhh…… eennn…aaakkkhhh… bbaanggeeetttthhhh…… mmmbbb……aaaaa…..aakkhhhhh……”
Sesuai permintaanku tadi ditariknya kontolnya dari dalam mulutku. Lalu dia mengambil alih dengan mengocoknya sendiri. Kuatur posisi diriku sambil tanganku terus meremas-remas pahanya yang keras berotot. Waktu Yanto mulai ber’ejakulasi’ aku mengaduh kaget. “Aaaooowww….aaaaiihhhhh…… “ Cairan yang tadinya kuharap akan jatuh di tetekku, atau paling jauh leherku, ternyata begitu kuat semburannya sehingga tertumpah di wajahku. Mendengar eranganku rupanya Yanto mengira aku menyukainya. Didekatkannya kontolnya ke wajahku yang masih berjilbab. ‘Aaakkkhhhhhh … aaahhhh…… ini Mmmbbbbbaaaaa….aaaakkkkhhhh … aaaahhhhh … aaaaaaakkkkkhhhhh,’ … semburan demi semburan cairan air mani Yanto tersiram ke wajahku sehingga jilbabku pun menjadi basah berlepotan air maninya . Terpaksa kucoba menikmati itu semua sebisaku. Sementara itu kurasa telapak tangan Yanto yang kasar meraba selangkangan dan celah pahaku, berusaha membawaku juga diriku ke puncak orgasme. Dalam keadaan terangsang mulutku mencari kontol Yanto. Seperti siang tadi ternyata masih dalam keadaan sangat keras, dan tetap besar, walaupun sudah mengalami ‘ejakulasi’nya. Dengan cepat kumasukkan kontolnya itu ke dalam mulutku dan kuemut-emut lagi. Yanto mengerang keenakan dan mengaduh kegelian. “ Aaakhh… aaakkhh…. Aaahhh…. Ssshhhh…. Oouuhhh….” Dalam keadaan itulah aku juga mencapai puncak orgasmeku di malam ini.
Melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai Yanto menyuruhku berbaring santai. Setelah membersihkan dirinya di kamar mandi ia kembali membawa handuk yang telah dibasahinya dengan air hangat. Dibersihkannya seluruh tubuhku dengan telaten dan penuh perhatian. Sambil merebahkan tubuhnya masih sempat ia berkata, … “Aduh Mbak, enak sekali rasanya.” “Iya Yanto, saya juga puas sekali,” … jawabku sambil beringsut mendekatinya. Kali ini aku yang ingin dipeluknya.
III
Besok paginya karena sudah nggak ada kuliah dan aku masih capek ngelayanin kontol Yanto tadi malam, aku bermalas-malasan saja di kamar. Ku dengar suara gaduh di luar, aahh… pasti mbok Sarinem lagi bersih-bersih seperti biasanya, sejak semula mbok Sarinem memang sudah kuserahi kunci cadangan rumahku biar sewaktu-waktu bisa membersihkan rumah ini. Sewaktu masih di kamar mandi untuk membasuh muka dan gosok gigi, aku mendengar kamarku dibuka, dengan masih berdaster yang kemarin dan jilbabku yang sudah mulai awut-awutan karena belum sempat ku lepas tadi malam aku ingin meminta mbok Sarinem untuk membuatkanku nasi goreng kesukaanku.
Dan aku terkejut karena bukan mbok Sarinem melainkan Yanto, “Ada apa Nto? Simbokmu kemana? Apa lagi sakit?” tanyaku agak tegas karena kulihat wajahnya lebih garang pagi ini. “Begini mbak,” … katanya menerangkan, … “apa kita melakukan sepenuhnya atau terbatas seperti tadi malam, tetap aja dosa .” Merasa mendapat angin segera kukemukakan pendapatku, … “Kalau begitu ya kita nggak boleh lagi kan melakukannya.” Yanto hanya tersenyum. Katanya, … “Pendapat Yanto lain mbak,” … lalu lanjutnya lagi, … “kan kita sudah berbuat sesuatu, biarpun mbak Mae hanya Yanto gituin mulutnya, segitu atau sepenuhnya kan tetep namanya dosa” Dasar si Yanto cara mengemukakan masalahnya kenapa brutal sekali, begitu pikirku. “Terus bagaimana?” Tanyaku pada Yanto meminta ketegasan. “Yah karena memang udah kepalang salah Yanto mau minta semuanya dong.” Kata-katanya membuatku terkejut seperti disambar geledek. “Aduh jangan Yanto, jangan sampai kesitu dong, kan saya sudah anggap kamu kayak adik sendiri.” Tapi dengan keras kepala Yanto terus mengejarku, … “Kalau begitu kenapa mbak Mae ngajak Yanto gituan?” Lalu katanya dengan tegas, “Sekarang saya menuntut semuanya!” Dengan sorot mata yang semakin tajam ia menatapku.
Lalu diucapkannya sesuatu yang membuat aku merasa merinding. Katanya, … “Apa Mbak Mae maunya Yanto perkosa?” Tubuhku terasa lemas, rasanya aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Melihat wajahku yang pasti sudah menjadi pucat pasi Yanto menghampiriku. Aku mencoba berontak, tapi rasanya tenagaku sudah menguap entah kemana. Tersenyum agak menyeringai Yanto, seperti senang melihat keadaanku begitu tak berdaya. Lalu katanya, “Obatnya manjur ya Mbak! Tapi nggak pusing kan?” Lalu dibimbingnya aku menuju ke ranjang. “Aduh tolong Yanto, jangan dong, jangan.” Tapi Yanto hanya diam saja, bahkan dengan tenang direbahkannya tubuhku ke atas pembaringan.
Pelan-pelan dilepasnya daster terusanku dan satu persatu dilepasnya bra dan celana dalamku. Sesekali dikecupnya tubuhku di sana sini. Aku yang sudah lemas sekaligus ketakutan lama kelamaan semakin merasa pasrah. Mulai kucoba untuk menikmati apa yang sedang dilakukan Yanto. Kusadari kemaluanku sudah mulai agak basah. “Mbak, Mbak Mae, udah lama rasanya Yanto nggak nyiumin badannya Mbak Mae yang begini wangi.” Aku hanya tersenyum lemah, sekarang aku sudah bersikap menyerah. Maka Yanto memulai apa yang rupanya telah dipersipkannya dengan matang. Diemut-emutnya puting tetekku dengan ganas, dipilin-pilin dan diremas-remas tetekku dengan gemas, dicium-ciumnya seluruh tubuhku. Pada waktu bibir dan lidahnya menyapu betis dan pahaku aku sampai menggigil kegelian. Puncaknya adalah pada waktu ia menjilati memekku.
Lidahnya ganas menyapu, mulai dari selangkanganku hingga memekku. Mulanya rasa geli yang kualami masih dapat aku tahan. Tapi akhirnya daya tahanku bobol juga. “Aaaahhh…….aaaddd…uuuhhhh Yanto uuuuhhhhh…dddaaaahhhh … uuu…… dddaaakkhhhhhh … ampun mbak nnggg…gggaaakkk tahannn….!” Begitu saja aku berteriak, sementara tubuhku menggeliat-geliat mencoba membebaskan diri dari cengkeraman laki-laki ganas ini. Kutatap laki-laki tampan tapi lugu itu, lalu kuambil keputusan yang tidak lagi mengandung keraguan. “Yanto, siniin punya kamu, mbak pengen ngemutin kontol kamu!” Suaraku terdengar agak serak, dan nafaskupun memburu kencang. Sekejap Yanto terdiam, seperti tidak percaya ia menatapku. Lalu ia menegakkan tubuhnya dan beranjak mendekati wajahku. Segera tanganku menyambar tali ikat pinggangnya, dan segera kulepaskan.
Rasanya tidak sabar aku karena masih harus menurunkan ruitsliting celana jeansnya dan melorotnya ke bawah. Padahal setelah itu di baiknya masih ada celana dalam lagi. Aku merasa sudah sangat tidak sabar. Maka sebelum seluruh celananya berhasil kulepas turun aku sudah memerosotkan celana dalamnya. Wajah Yanto terlihat senang melihat tanganku begitu bergairah menggenggam kontolnya yang besar dan tegang mencuat itu. Langsung kuciumi dan kuusapi dengan bibirku. Diikuti jilatan lidahku yang terus menerus bergerak dengan lincahnya. Karena Yanto berada pada posisi mengangkang di atasku maka aku dapat menikmati semua bagian kontolnya. Selangkangan dan ‘buah zakar’nya sempurna kujilati, hingga membuat Yanto merintih-rintih keenakan. “Aaaaahhhhhhhh…… mmmppphhhh…… aaahh… aakkhh…… oooouuuuuhhhh…… aaahhh……”
Tapi tidak lupa juga ia pelan-pelan melepas celananya, yang tadi baru sampai kulorot kebawah. Setelah itu sementara aku mengulum kepala kontolnya, dan kemudian mengemut-emut seluruh batang kontolnya itu dalam mulutku, Yanto melepas jilbabku yang masih terpasang awut-awutan sambil sesekali diremasnya rambutku. Dengan lembut diramas-remasnya tetekku, sambil sesekali memilin-milin putingku yang sudah mencuat dan menegang keras. Sejenak sempat kulirik wajahnya sedang tersenyum-senyum kecil. Rupanya ia sedang memandangi aku yang sedang melahap daging kontolnya. Sempat agak merasa malu juga aku dibuatnya, tapi karena sedang asyik-asyiknya kuputuskan untuk berlaga seolah-olah tidak sadar.
“Mbak, Mbak Mae, sekarang Yanto masukin ya?” Suara pemuda itu terdengar mengusikku. Sempat terbersit keinginan di hatiku untuk menolaknya, tapi akhirnya birahiku yang sudah sangat memuncak mendorongku mengambil keputusan yang berbeda. Kutatap dia dengan lembut, lalu kuiyakan permintaannya. “Tapi pelan-pelan ya Nto, soalnya, soalnya,” … aku kebingungan memilih kata-kata yang tepat. Yanto tersenyum bangga. Diteruskannya apa yang kumaksud dengan berkata, … “Soalnya belum pernah dimasukin yang sebesar ini ya?” Aku hanya dapat mengangguk pelan, rupanya Yanto telah dapat membaca pikiranku. Kemudian Yanto membuka selangkanganku, sembari mengemut-emut dan menggigit-gigit puting tetekku serta meremas ganas tetekku, seperti seorang bayi besar yang sedang dahaga,membuat gairahku kian meledak, akupun mendesis keenakan “Uuuukkhhhhh… uummmmpphhhhhh…… aaakkhhhhh…… sssshhhhhh……”
Diusap-usapnya bibir kemaluanku dengan ujung kontolnya. Aku menggelinjang kegelian, sudah merasa ingin, tapi juga agak takut. Ketika Yanto mendorong kontolnya itu masuk, rasa pedih yang amat sangat melanda seluruh tubuhku. Ternyata memekku menjadi agak sempit setelah beberapa hari terakhir belum merasakan kontol-kontol lelaki. “Aduh Yanto sakit …, sambil kugigit bibirku. Dia berhenti sejenak, lalu mulai mendorong kontolnya kembali. Setelah kurang-lebih masuk setengahnya tiba-tiba Yanto mendorong agak keras, hingga membuatku menjerit. “Aaaawwwwhhhhh…… Adduuuhhh…, aduh, aduh, sakit sekali sayang,” … sambil kucoba merenggangkan pahaku selebar-lebarnya. Rasa pedih yang kuderita berlangsung selama kurang-lebih dua menit, sebelum berangsur-angsur mereda. Lubrikasi dari liang memekku akhirnya semakin mempermudah gerakan kontol Yanto, sehingga dapat bergerak maju mundur lancar.
Aku merinding dan menggigil dilanda kenikmatan yang baru sekali ini aku rasakan. Belum pernah liang memekku menerima kunjungan daging nikmat milik lelaki yang sebesar ini. Karena memang selama ini pengalaman yang kumiliki menikmati kontol-kontol lelaki yang lain tidaklah sebesar ini. Dibanding lelaki-lelaki yang pernah ngentotin aku, kelebihan Yanto bukan hanya karena ukuran kontolnya yang besar, tetapi dia sendiri juga pandai memainkannya. Akibatnya baru sepuluh menit saja aku sudah mencapai orgasmeku yang pertama. Rasanya tubuhku melambung tinggi, dan terbawa melayang entah kemana. Tanpa kendali lagi aku menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu, sambil sesekali menggigit-gigit lengannya. “Oookkhhhhhh….. ookkhhh….aaakkhhh….aakhhhh… Yyyaann…. Nnttooo….” Teriakku “Aaaarrgghhhh…… uuuufffhhhh…. Nnttoooo…. Eenaakkhh…eennaakkhh…bbanggettthhh….nnttooo….. oookkhhhhh….. yyyyaaahhh…. Mmpphh….mmpphhh…” “mmmbbaa…aakkk…kkkeeee….llluuaaarrrrr…… hhaaahhhh…. Ooowwww…. Ssssshhhhh….” Setelah perasaanku mereda baru kusadari bahwa Yanto masih dengan gagah menunggangiku.
Terpaksa kuatur nafas dan posisi diriku, supaya bisa mengimbangi keperkasaannya. Menjelang Yanto mencapai klimaksnya masih sekali lagi aku dilanda gelombang nikmat orgasme kewanitaanku. Maka ketika kudengar Yanto berkata, “SSShhhhh….ssekaarrr….aaangggg…. Yanto llleeeppp…..aaaassshh…. yyyaaahhh….,” aku hanya dapat mengiyakannya saja. Begitu kukatakan, … “Iii….yyyyaaaahhhh…… Ntoo…, iyyaaakkhhhh……. Ssshhh….sssaayang, tolong sekaraaang….. aaaahhh….jjjjjaaaa … aaaaakkkkhhhhhh……oooouuuggggghhhhh…….sssshhh….,” angsung Yanto mempercepat gerakan menghunjamnya. “Mmmbbbaaaakkkk……., Mbak Maaee…, Mmmmbbb…bbaaaakkkhhh … aaakkhhh….dduuuhhhh…… Mbak … aaakkkkhhh……oooookkhhhhh……mmmmpphhh….aakkhh….akkkh h….aaakkkkhhh….aarrrrggghhhhhhh……,” demikian Yanto meracau sambil menghujam kontolnya sedalam-dalamnya memasuki rahim kewanitaanku. “Hhhaaahhhhh…. Ccrrootttt…..ccroott..cccrroott….crrooott….sssshhh hh……” Sangat erat ia memeluk tubuhku, sementara jari-jariku meremas punggungnya, karena ‘orgasme’ yang juga sedang kualami. “Ooouuggghhhhh…..hhaaahh…hhaaahh…hhaahh…. aakkhh..aakkhhh…aakkhh…… mmpphhhhh…. Oooowww…..sshhhhhh…..aaaaakkkhhhhhhhh……ssseerrrrr… .” lolongku panjang. Setelah beberapa saat berlalu, barulah gerak dan erangan kami berdua mereda. Yanto masih membiarkan kontolnya di dalam rahimku selama beberapa saat, setelah itu baru ditariknya keluar. Sebagian dari air maninya tadi ikut mengalir tertumpah di selangkanganku.
Pagi itu aku dan Yanto kembali melakukannya di dapur sambil membuatkan aku minuman hangat dan kamipun terus bergumul sampai siang hari. Ffiiuhhh… lega rasanya bisa menikmati kontol lelaki lagi, badanku menjadi lebih fresh sekarang.
Say 'Thank You!' for this post.

Tidak ada komentar: